Diskursus Kekerasan Agama dalam Rumah Tangga

Rumah tangga merupakan lembaga yang terbentuk karena faktor perkawinan. Selama ikatan perkawinan masih terjalin maka lembaga ini masih tetap ada. Perkawinan sendiri menurut undang-undang perkawinan 1974 adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut agama tidak jauh berbeda dengan pengertian di atas hanya perlu mendapat penekanan pada substansinya yang dilihat sebagai suatu ikatan yang suci karena dilakukan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan dilakukanpun dengan mempergunakan nama Allah, yaitu ketika saling meminta satu dengan yang lain, sebagaimana diingatkan dalam surat an-Nisâ ayat 1 berikut “…dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain”.

Perkawinan juga diistilahkan dengan kata pernikahan. Dan dalam Islam hukumnya wajib dilaksanakan bagi yang mampu secara lahir dan batin. Ibnu Taymiyah bahkan menegaskan bahwa orang yang enggan untuk menikah tidaklah termasuk golongan Rasulullah SAW. maupun nabi-nabi terdahulu. Akan tetapi sebagaimana syari’at Islam yang lain. Pernikahanpun dilakukan bertujuan mulia untuk kebaikan manusia di dunia maupun di akhirat. Sepasang suami istri menurut Ayidah Ahmad Shahal, ketika memilih dan memutuskan menempuh hidup bersama dalam bahtera rumah tangga tentu mempunyai cita-cita mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan. Maka untuk mewujudkan hal tersebut, bahtera rumah tangga harus selalu dijaga. Sebab kebahagiaan tidak datang dengan cara kebetulan, tetapi diwujudkan dengan berbagai usaha. Salah satunya adalah selalu menjaga perasaan dan mewujudkan pemenuhan kebutuhan masing-masing pasangan.

Selain untuk kepentingan suami istri menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap istri atau sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya, karena pernikahan berarti pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dan dalam sekup yang lebih luas, merupakan dakwah Islam bagi seluruh umat manusia karena di dalamnya terkandung hikmah yang sangat besar. Di antara hikmahnya menurut Al-Jazairi dalam kitabnya Minhâj al-Muslim adalah; 1. melestarikan manusia dengan perkembangan biak yang dihasilkan melalui nikah, 2. kebutuhan pasangan suami istri terhadap pasangannya untuk memelihara kemaluannya dengan melakukan hubungan seks yang terhormat dan suci, 3. kerjasama pasangan suami istri dalam mendidik anak dan menjaga kehidupannya, 4. mengatur hubungan seorang laki-laki dengan wanita berdasarkan prinsip pertukaran hak dan bekerja sama yang produktif dalam suasana yang penuh cinta kasih serta perasaan saling menghormati satu sama lainnya.

Secara fitrah, apabila suatu pernikahan dilakukan berdasarkan aturan Allah, maka akan memberikan ketenangan batin (ithmi`nân al-qalb) bagi pelakunya. Karena Allah lah yang mencurahkan cinta dan kasih-sayang kepada manusia. Setiap orang tentu memiliki asa yang sama tentang bahtera rumah tangganya, yaitu ingin bahagia; sakînah mawaddah warahmah. Ada yang mampu mewujudkan hal tersebut secara mudah, namun tidak sedikit yang mengalami kesulitan, bahkan bahtera rumah tangga harus terombang ambing dalam badai konflik dan akhirnya terhempas hancur ke karang tajam perceraian. Fakta-fakta buruk kehidupan rumahtangga yang terjadi di masyarakat seolah makin mengokohkan asumsi sulitnya menjalani kehidupan rumah tangga. Bahkan, tidak jarang, sebagian orang menjadi enggan menikah atau menunda-nunda pernikahannya. Salah satu fakta buruk tersebut adalah merebaknya tindakan kekerasan, seperti pemukulan seorang suami kepada istrinya. Tindakan pemukulan tersebut bisa terjadi karena faktor dorongan individu si suami yang memang ringan tangan, tetapi ada juga yang melakukannya karena sebagai solusi untuk menyadarkan istri dari kesalahan yang dilakukannya.

Memukul adalah salah satu dari kategori kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik. Dalam Islam tindakan memukul istri sebagai arti dari kata Idhribûhunna hanya terdapat dalam surat an-Nisâ ayat 34. Kata tersebut melahirkan diskursus pemahaman yang berbeda dari para ulama, yaitu;

1. Kebolehan memukul Istri

Ini merupakan faham dari golongan terbesar ulama (jumhûr). Golongan ini secara tegas mengartikan kata Idhribûhunna dalam ayat tersebut secara etimologis dengan “pukullah mereka (istri)”. Dari pemahaman etimologis itulah dikeluarkannya fatwa bolehnya memukul istri karena berlaku nusyûz. Sebagaimana yang dikatakan ad-Dhahak dalam tafsir ath-Thabari; “laki-laki adalah pemimpin wanita karena kelebihan yang dimilikinya. Laki-laki memerintahkan wanita untuk ta’at kepada Allah, dan apabila ia enggan maka ia berhak memukulnya dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas (melukai)”. Bahkan dengan lebih keras dalam kitab tafsirnya al-Bahr al-Muhîth, Abu Hayyan al-Andalussi (w. 745 H) berpendapat: “(Dalam menghadapi isteri yang nusyûz), seorang suami mengawali dengan nasihat yang lembut, jika tidak bermanfaat maka bisa dengan kata-kata kasar, kemudian meninggalkan ranjang dan tidak menggaulinya, kemudian dengan berpaling dari isteri sepenuhnya, kemudian bisa memukul dengan ringan; seperti tempeleng atau cara lain yang membuatnya merasa terhina dan jatuh martabatnya, kemudian bisa memukul dengan cambuk atau galah lembu atau sejenisnya yang bisa membuatnya sakit dan jera, tetapi tidak boleh mematahkan tulang atau mengucurkan darah. Jika semua itu tidak membuahkan hasil, suami bisa mengikat sang isteri ke suatu tempat dengan tali, lalu dipaksa melayani hubungan intim. Karena semua itu adalah hak suami”.

Kebolehan memukul ini juga didasarkan pada hadits dari ‘Ikrimah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “pukullah mereka (istri) apabila menentangmu dalam kebaikan, dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas“. Jelas hadits tersebut juga memaknainya sebagai pukulan, diperkuat dengan kata pukulan yang tidak meninggalakan bekas. Sifat tidak meninggalkan bekas atau luka memang lebih tepat merupakan karakter dampak dari suatu pukulan.

Konsep memukul istri ini diletakkan ulama dalam konteks solusi atas prilaku nusyûz istri. Posisinya pun terakhir setelah dua tahapan sebelumnya sebagaimana diposisikan seperti itu oleh al-Qur`ân . Adapun tiga tahapan-tahapan tersebut adalah;

Pertama, menasihati isteri dengan baik-baik, dengan kata-kata yang bijaksana, kata-kata yang menyentuh hatinya sehingga dia bisa segera kembali ke jalan yang lurus. Sama sekali tidak diperkenankan mencela istri dengan kata-kata kasar. Rasulullah SAW. melarang hal itu. Kata-kata kasar lebih menyakitkan dari pada tusukan pedang. Tehnik menyampaikannya diserahkan kepada masing-masing orang. Di sinilah dituntutnya kualitas kepemimpinan seorang suami dalam memberikan pengarahan lisan kepada istrinya.

Apabila cara tersebut tidak merubah apa-apa, al-Qur`ân memberikan jalan kedua, yaitu memisahkan tempat tidurnya dengan isteri. Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fî Zhilâli al-Qur`ân menganggap cara kedua ini bertujuan untuk mereduksi rasa sombong si istri yang merasa keindahan fisiknya merupakan senjata untuk melemahkan ketegaran suami. Dengan hilangnya kesombongan tersebut, maka si istri cenderung surut dan lunak hingga bisa kembali ta’at dalam kebaikan. Cara ini juga bisa sebagai barometer tingkat kecintaan istri kepada suaminya. Seorang istri yang benar-benar mencintai suaminya akan sangat terasa mendapatkan teguran. Dan kembali menjalankan bahtera rumah tangga dengan suaminya secara harmonis. Akan tetapi jika tidak berpengaruh, maka kebutuhan dan rasa cintanya kepada suami berarti telah berkurang.

Selanjunya jika sang isteri tetap tidak berubah. Nuraninya telah tertutupi oleh hawa nafsunya. Dan tetap berada dalam ke-nusyûzan-nya. Ia tidak mau juga berubah setelah diingatkan dengan dua cara tersebut barulah menggunakan cara ketiga, yaitu memukul.

Kritik terhadap doktrin ini berawal ketika faktanya telah memberikan peluang luas kepada para suami untuk memukul istri, walaupun para ulama telah memberikan batasan dan tujuan dalam memukul tersebut. Dalam prakteknya para suami telah mensalahartikan bahkan mensalahgunakannya secara berkebihan, dan mengarah kepada tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Sebagian pelakunyapun berdalih dengan alasan tersebut agar tidak terjerat pada kasus penganiayaan, sekalipun sudah melampaui batas dan telah mengarah pada tindakan pengniayaan. Dan pada akhirnya melahirkan budaya kekerasan yang dimotivasi oleh doktrin agama.

Budaya kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan sebagai legitimatornya merupakan bahaya laten bagi keutuhan dan keharmonisan rumah tangga.
Akan tetapi meniadakan kultur ini dari doktrin agama bukanlah pekerjaan yang mudah, karena pelakunya merasa tindakanya telah ditopang kuat oleh teks-teks suci.

Seringkalai pemeluk agama lebih melihat kekerasan agama dengan paradigma good against evil atau meminjam istilah Mark Juergensmeyer sebagai cosmic war dimana penggunaan kekerasan adalah benar dengan dalih melawan kemungkaran dan kesesatan, bahkan hal ini juga sebagai bentuk ibadah. Celakanya, fenomena ini selalu ada hampir di setiap agama, setidaknya dalam rekaman sejarahnya.

Pemahaman normatif terhadap teks inilah yang sangat sulit diatasi. Para pemikir yang lebih moderat berupaya menawarkan enlightening melalui reinterpretasi terhadap teks dan kontekstualisasinya, namun mereka justru dianggap penyesat, hasil ijtihad mereka juga dianggap bid’ah dan sarat agenda ghozwul fikr. Meskipun demikian upaya pencerahan tetap harus terus digiatkan, mengingat interpretasi terhadap teks suci adalah motivator paling kuat yang menjadi pemicu kekerasan agama. Violence in the name of God tidaklah beda dengan kekerasan lainnya, yang berbeda hanya motivasinya, namun secara praksis membuahkan implikasi yang sama yaitu merendahkan kehidupan. Seolah nyawa dan kehormatan seseorang menjadi begitu murah ketika berhadapan dengan ujung pedang agama. Mencegah penggunaan agama sebagai weapon inilah yang harus diupayakan dalam membangun keharmonisan antar sesama manusia, khususnya dalam mendayung bahtera rumah tangga. Karena dengan demikian keselamatan seseorang dalam berumah tangga dapat lebih terjamin.

2. Memukul Istri bukanlah Teladan dari Rasul

Pemahaman ini didasarkan pada fenomena praktek kenabian Muhammad SAW sebagai sari tauladan umat Islam. Secara faktual menunjukkan perbedaan yang sangat besar dengan faham yang pertama, yaitu Rasulullah tidak pernah sekalipun mencontohkan memukul salah satu dari para istrinya. Tidak satupun riwayat dari para sahabat tentang fi’liyah (perbuatan) Nabi yang menceritakan hal tersebut. Bahkan dalam hadits-haditsnya Rasulullah SAW malah cenderung mengecam pemukulan terhadap istri tersebut. Seperti sabdanya : “Bagaimana kamu pukul istrimu seperti memukul budak padahal setelah itu kamu tidur bersamanya, apakah kamu tidak malu?”. Dan dalam redaksi yang lain yaitu hadtis dari Abu Hurairah, Rasulullah juga bersabda; “Janganlah seseorang di antara kamu memukul istrinya bagaikan unta, yaitu dia memukulnya pada pagi hari, tetapi kemudian pada malam harinya mencampurinya.”

Terbentuknya lembaga pernikahan adalah karena keikhlasan masing-masing pihak untuk menjadikan pasangannya sebagai patner menggapai kebahagiaan hakiki, bukanlah kebahagiaan yang palsu. Pendekatan dan meyakinkan istri dengan cara memukul tidak akan melahirkan bahagia. Andaikan sang istri berubah menjadi baik setelah dipukul oleh suami, tentu hanya secara zahir, karena bagaimanapun juga aksi dan tindak pemukulan itu sangat melukai hatinya. Sehingga pilar sakinah dan mawaddah akan cacat yang akhirnya juga kehidupan rumah tangga akan hancur.

Dalam Islam tidak dikenal harga mati suatu ikatan pernikahan sebagaimana agama lain. Esensi dari penikahan sebagaimana dalam dijelaskan dalam al-Qur`ân adalah dibangun di atas rasa kasih dan sayang seperti termaktub dalam surat ar-Rum ayat 21; Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Kedua belah pihak harus merasa tentram dengan keberadaan pasangannya. Artinya apabila rasa kasih sayang dan ketentraman itu sudah sirna, maka diobolehkan bagi mereka untuk melakukan perceraian.

Perceraian merupakan jalan terakhir ketika jalan-jalan sebelumnya sudah ditempuh, yaitu seperti jalan yang dijelaskan pada surat an-Nisâ ayat 31. Rasa tentram dan bahagia dalam pernikahan bukanlah hak suami saja, tetapi juga mutlak hak istri. Bahkan pernikahan dianggap tidak terjadi apabila mempelai wanita tidak menerima calon mempelai pria, karena persetujuan untuk menikah mutlak merupakan hak mempelai wanita.

Ketika menangani masalah disharmoni dengan para istrinya Rasulullah selalu melakukan pemberian nasehat dengan cara yang baik dan santun dan tidak pernah menggunakan kata-kata yang kasar. Dan ketika tidak tetap tidak bisa dinasehati langkah selanjutnya ia melakukan i’tizâl atau pisah rumah selama sebulan dari istrinya. Rasulullah tidak pernah melakukan pemukulan padahal kala itu surat an-Nisâ ayat 31 sudah diturunkan. Seandainya memukul istri waktu itu merupakan opsi penentu dan senjata pamungkas suami untuk menaklukkan istri, tentu Rasulullah orang pertama yang melakukannya sebagai contoh umat-umat sesudahnya.

Lalu bagaimana pemahaman lain tentang kata Idhribûhunna dalam ayat surat an-Nisâ ayat 31 tersebut?. Padahal ayat inilah satu-satunya yang menjadi rujukan pemahaman bolehnya memukul istri tersebut. Sedangkan makna memukul atau mencambuk yang digunakan dalam al-Qur`ân seringkali dengan redaksi yang lebih spesifik yaitu jild. Seperti hukuman bagi orang yang menuduh berzina tanpa adanya empat saksi dicambuk 80 kali.

Kata dharb dalam bahasa arab termasuk kata yang multimakna yang harus disesuaikan dengan ayat dan dalil naqli yang terkait secara utuh. Ada 18 bentuk pemakaian kata dharb dalam al-Qur`ân , semuanya bermakna i’tizal (mengasingkan/isolasi diri), al-mufâraqah (memisahkan), dan at-tark (meninggalkan). Contohnya dalam surat an-Nisâ ayat 101, “Wa izâ dharabtum fî al-ardhi falaisa ‘alaikum junâhun an-taqsurû min ash-shalâti (Dan apabila kamu bepergian (dharabtum) di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalatmu). Kata dharabtum tidak mungkin diterjemahkan memukul di bumi.

Aplikasi makna seperti di ataslah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Yaitu mengasingkan dalam bentuk tidak tinggal serumah dengan istrinya yang nusyûz selama satu bulan, tanpa sekalipun melakukan pemukulan.

Tentunya dari dua pemahaman di atas terdapat kelemahan dan kelebihan masing-masing. Pemahaman kedua secara kontekstual cenderung bisa mengayom tuntutan era kebebasan yang berkembang saat ini. Seperti yang disuarakan oleh kaum feminis dan gerakan kebebasan wanita lainnya yang bertujuan mereduksi bahkan menghilangkan hegemoni kaum pria terhadap wanita, yang seringkali ditegakkan dengan cara-cara kekerasan, baik fisik, psikis, juga yang lainnya. Atau maraknya tuntutan dihilangkannya budaya kekerasan yang dilatarbelakangi oleh doktrin-doktrin agama. Seperti yang dilakukan oleh Parliament of the World’s Religions. Dalam konggresnya tahun 1993, para perwakilan agama-agama dunia ini memfatwakan pentingnya “transformasi kesadaran” (transformation of consciousness) untuk mewujudkan tatanan dunia baru (new global order) yang bersendikan kebebasan beragama. Forum tersebut merekomendasikan beberapa komitmen, yang salah satunya berupa komitmen untuk mewujudkan budaya anti kekerasan dan menghormati kehidupan (culture of non-violence and respect for life). Selain sorotan utamanya adalah aksi kekerasan dalam bentuk perang antar agama dan terorisme, KDRT juga menjadi perhatian serius, yaitu ketika itu dilakukan dilaterbelakangi oleh doktrin-doktrin agama. Pemahaman kedua ini juga cukup ampuh untuk meredam berkembangnya islamophobia di dunia, khususnya erofa barat dan Amerika yang mencap secara tidak obyektif Islam sebagai agama kekerasan.

Akan tetapi menafikan sama sekali makna memukul dari ayat tersebut berarti menafikan juga hadits Rasulullah dari ‘Ikrimah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “pukullah mereka (istri) apabila menentangmu dalam kebaikan, dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas“. Hadits ini merupakan tafsîr bi ar-riwâyah atas makna Idhribûhunna pada surat an-Nisâ ayat 31, yang menunjukkan secara eksplisit bolehnya memukul istri sebagai salah satu cara menyelesaikan masalah dengan catatan tidak meninggalkan bekas.

Penulis mengganggap peniadaan secara total metode pemukulan istri sebagai solusi rumah tangga dan perintah secara berlebihan dengan tanpa pertimbangan untuk memukul istri sebagai solusi adalah kurang tepat. Terkadang islamophobia yang berkembang di beberapa belahan dunia menjadikan umat Islam mengambil sikap ekstrim terhadap ajarannya sendiri dengan cara mengalih maknakan beberapa teks wahyu untuk memproduk hukum yang sesuai dengan tuntutan pihak-pihak tertentu.

Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya fî zhilâl al-Qur`ân menegaskan bahwa tindakan pemukulan sebagai pemecahan masalah pelik rumah tangga adalah dari Allah Sang Pencipta. Dia lebih mengerti tentang manusia yang diciptakan-Nya jauh melampaui manusia itu sendiri dalam memahami dirinya. Manusia hanya diminta memahami dengan baik maksud dan tujuan dari perintah Allah dengan seksama dan mengaplikasikannya dalam rangka mendatangkan rahmat bagi semua, tidak hanya pada suami, tetapi juga pada istri. Dan nilailah kualitas rahmat tersebut secara obyektif, bukan sebatas karena telah melaksanakan perintah Allah (dalam hal ini memukul istri) secara otomatis rahmat telah diperoleh. Perlu didengarkan langsung bagaimana hal itu apabila telah diterapkan kepada istri. Bahagiakah dia, tentramkah dia, selesaikah masalah yang dihadapinya, telah diperlakukan adilkah dia, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang dilontarkan untuk menilai kualitas rahmat tersebut dalam konteks yang terukur.

Secara eksplisit Sayyid Quthb meletakkan metode pemukulan istri ini dalam rangka mendidik yang disertai rasa kasih sayang, jauh dari maksud menghinakan dan merendahkan. Itupun terjadi dalam kondisi yang tidak biasa dan hanya bisa diselesaikan apabila menggunakan cara tersebut. Artinya ia memposisikan hukum memukul istri sebagai hukum yang pasif, yang digunakan apabila kondisi kedua pasangan memang membutuhkannya karena dianggap efektif untuk menyelesaikan masalah rumah tangga mereka. Sebagai contoh, terkadang terdapat wanita yang tidak mau menjadikan laki-laki yang dicintainya sebagai pemimpin dan direlakannya sebagai suaminya kecuali jika lelaki tersebut dapat menguasai dirinya secara fisik. Wanita model demikianlah yang memerlukan pemecahan tahap akhir ini, supaya ia kembali lurus dan menjalankan bahtera rumah tangganya dalam kedamaian dan ketentraman.